Hubungan Agama dengan Kesehatan(Khususnya Agama Katolik)
BAB
I A. PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan sarana yang paling utama untuk memberikan respon konstruktif terhadap
permasalahan kehidupan sehari-hari, agar kualitas kehidupan manusia semakin
meningkat. Menyadari akan pentingnya posisi strategis pendidikan sebagai sarana
memajukan peradaban bangsa, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada
pemerintah agar menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pemerintah telah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.Menurut
Undang-undang tersebut tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara demokratis, serta bertanggung jawab.Agama
memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi
pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan
bermartabat. Menyadari bahwa peran agama amat penting bagi kehidupan umat
manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi
sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di
lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.Pendidikan
Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan
potensi spiritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai
perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan
individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual
tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang
dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan.Pendidikan Agama Katolik adalah usaha
yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dengan tetap memperhatikan
penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama
dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.Dari pengalaman dapat dilihat bahwa apa
yang diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak selalu membuat hidup seseorang
sukses dan bermutu. Tetapi
kemampuan, keuletan dan kecekatan seseorang untuk mencernakan dan
mengaplikasikan apa yang diketahui dalam hidup nyata, akan membuat hidup
seseorang sukses dan bermutu. Demikian pula dalam kehidupan beragama.
Orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang
imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya bagaimana ia menginterpretasikan
dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-hari. Seorang
beriman yang sejati seorang yang senantiasa berusaha untuk melihat, menyadari
dan menghayati kehadiran Allah dalam hidup nyatanya, dan berusaha untuk melaksanakan
kehendak Allah bagi dirinya dalam konteks hidup nyatanya. Oleh karena itu
Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan
peserta didik menjalani proses pemahaman, pergumulan dan penghayatan iman dalam
konteks hidup nyatanya. Dengan demikian proses ini mengandung unsur
pemahaman iman, pergumulan iman, penghayatan iman dan hidup nyata. Proses
semacam ini diharapkan semakin memperteguh dan mendewasakan iman peserta
didik. 1.
Konsep Kunci
a.
Pembentukan
akhlak berdasarkan Agama Katolik.
b.
Etika
menurut Agama Katolik serta akhlak beragama.
c.
Hubungan
Agama Katolik dengan kesehatan.
2. Petunjuk
a.
Pelajari
materi BAB I dengan tekun dan disiplin.
b.
Penyajian
setiap BAB meliputi : Judul BAB, pendahuluan, konsep-konsep kunci, petunjuk, tujuan
umum pembelajaran, tujuan khusus pembelajaran, paparan materi, tugas dan
latihan, rangkuman, dan soal-soal akhir BAB yang disertai dengan kunci jawaban.
c.
Dalam
uraian materi terdapat test sambil jalan. Test ini dapat menjadi tuntunan
pembaca dalam memahami uraian bahan ajar demi bagian.
d.
Kerjakan
soal-soal latihan dan soal akhir BAB dengan tekun dan disiplin!
e.
Bacalah
sumber-sumber pendukung untuk memperdalam pengetahuan dan wawasan anda.
f.
Ikuti
turutan penyajian setiap BAB tahap demi tahap.
g.
Selamat
belajar, semoga sukses.
3. Tujuan
Pembelajaran
a. Tujuan
Umum Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Agama Katolik.b. Tujuan
Khusus Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami:
1)
Menjelaskan
pembentukan akhlak berdasarkan Agama Katolik.
2)
Menjelaskan
etika menurut Agama Katolik serta akhlak beragama.
3)
Menjelaskan
hubungan Agama Katolik dengan kesehatan.
B. PENYAJIAN
MATERI
1. Pembentukan Akhlak Berdasarkan Agama Katolik
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari
bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah
Ya‟qub, 1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika dan moral. Sedangkan secara terminologis, akhlak
berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan
tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu
Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang
tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dengan tidak membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27). Dalam
khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan
akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi
pekerti, tata susila, tata krama, atau sopan santun (Faisal Ismail, 1988: 178).
Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian
serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau
dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika
lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai,
sedang moral bersifat praktis sebagai tolak ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka
Sa‟id, 1986: 23-24).
Sejak tahun 1900-an mulai
dikenalkan terminologi Pendidikan Karakter. Thomas Lickona dianggap sebagai
pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku 4 yang berjudul The Return of
Character Education. Melalui buku tersebut, ia menyadarkan dunia Barat akan
pentingnya Pendidikan Karakter. Pendidikan
karakter, menurut Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving
the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan
Karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada
anak, tetapi lebih dari itu Pendidikan Karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang
baik. Pendidikan Karakter ini membawa misi yang sama dengan Pendidikan Akhlak
atau Pendidikan Moral. Secara umum akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak
mulia dan akhlak tercela (buruk). Akhlak mulia adalah yang harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, sedang akhlak tercela adalah akhlak yang harus
dijauhi dan ditinggalkan. Dalam kenyataan hidup memang ditemukan orang yang
berakhlak mulia dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat
manusia yang bisa baik dan bisa buruk. Baik atau buruk bukan sesuatu yang
mutlak diciptakan, melainkan manusia dapat memilih beberapa kemungkinan baik
atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan, ia bisa
bangkit pada kebaikan kembali dan bisa bertaubat dengan menghitung-hitung apa
yang telah dipetik dari perbuatannya (Ainain, 1985: 104). Untuk menjadi manusia
yang baik (berakhlak mulia), manusia berkewajiban menjaga dirinya dengan cara
memelihara kesucian lahir dan batin, tenang, selalu menambah ilmu pengetahuan,
membina disiplin diri, dan lain sebagainya. Setiap orang juga harus menerapkan
akhlak mulia dalam berbagai segi kehidupan. Akhlak mulia harus ditanamkan dan
dipraktekkan sejak dari kehidupan dalam rumah tangga atau keluarga, lingkungan
masyarakat, sekolah atau pendidikan, dan lingkungan kerja, serta dengan
lingkungan alam pada umumnya.
Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan
setiap orang, maka pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di
sekolah atau lembaga pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata
pelajaran pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau
pendidikan karakter. Akhir-akhir ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua
mata pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Kedua mata pelajaran ini tampaknya belum dianggap mampu mengantarkan peserta
didik memiliki akhlak mulia seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003
melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 dan dipertegas dengan
dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah
menetapkan, setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik
sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran memengaruhi
pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP 19 2005 pasal 6 ayat 4). Pada
pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/ Paket B, SMA/MA/ SMALB/ Paket C,
SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau
kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi,
estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Akhlak mulia di lingkungan sekolah
atau pendidikan misalnya, harus tercermin dalam praktik kehidupan sehari-hari
semua warga sekolah yang meliputi karyawan, guru, para siswa, dan kepala
sekolah. Semua komponen sekolah, harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang
mulia, seperti berlaku jujur, amanah, tanggungjawab, rasa hormat, peduli, santun, lapang
dada, toleran, tekun dan sabar. Dengan menanamkan dan mempraktikkan sikap dan
perilaku tersebut, maka pada waktunya kelak akan terbangun kultur akhlak mulia
di lingkungan sekolah.
Ada variasi model pembentukan kultur
akhlak mulia bagi siswa di sekolah-sekolah di Indonesia mulai dari sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas. Dari delapan sekolah yang menjadi sampel penelitian terlihat
jelas variasi tersebut. Tidak ada satu sekolah (dari delapan sekolah yang
diteliti) yang melakukan pengembangan kultur akhlak mulia secara sempurna, atau
sebaliknya sama sekali tidak baik, tetapi masing-masing sekolah memiliki
kelebihan-kelebihan khusus di samping juga memiliki kekurangan. Namun demikian,
jika dicermati ternyata ada kesamaan secara umum dari semua sekolah yang
diteliti, yakni menjadikan visi, misi, atau tujuan sekolah sebagai dasar
pijakan untuk membangun kultur akhlak mulia di sekolah. Terwujudnya visi, misi,
dan tujuan sekolah ini perlu didukung dengan program-program sekolah yang tegas
dan rinci dalam rangka pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah.
Program-program ini akan berjalan dengan baik dan berhasil jika mendapatkan
dukungan yang positif, berupa: 1) komitmen dari pimpinan sekolah, 2) dukungan
semua guru, karyawan sekolah, orang tua siswa, komite sekolah, dan masyarakat,
3) sarana dan prasarana yang memadai, 4) kurikulum, 5) tata tertib sekolah, 6) kesadaran yang tinggi dari semua
civitas sekolah, 7)
keteladanan dari para guru dan karyawan sekolah, 8) kebersamaan sekolah, keluarga, dan
masyarakat, 9)
reward and punishment, dan 10) dilakukan secara berkesinambungan.
Model yang ideal
yang sebaiknya dikembangkan dalam pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah di
Indonesia baik di tingkat dasar maupun menengah adalah sebagai berikut:
1) Sekolah
sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang mengarah pada pengembangan
kultur akhlak mulia di sekolah.
2) Diperlukan adanya persepsi yang sama di antara civitas
sekolah dan orang tua siswa serta masyarakat dalam rangka mewujudkan kultur
akhlak mulia di sekolah.
3) Untuk pengembangan akhlak mulia di sekolah diperlukan juga
kesadaran yang tinggi bagi seluruh civitas sekolah untuk mewujudkannya.
4) Adanya komitmen yang tegas dari kepala sekolah untuk
mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah yang dituangkan dalam
kebijakan-kebijakan atau program-program yang jelas.
5) Adanya program-program dan tata tertib sekolah yang tegas
dan rinci serta mengarah pada pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah.
6) Adanya pembiasaan nilai-nilai akhlak mulia dalam aktivitas
sehari-hari di sekolah baik dalam aspek keagamaan maupun aspek yang bersifat
umum.
7) Adanya dukungan positif dari semua pihak yang terkait
dalam mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
8) Ada keteladanan dari para guru (termasuk kepala sekolah)
dan para karyawan sekolah.
9) Adanya sinergi antara tiga pusat pendidikan, yakni
pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan
nonformal (masyarakat) untuk mewujudkan kultur akhlak mulia bagi para siswa
baik di sekolah maupun di luar sekolah.
10) Perlu juga didukung adanya reward and punishment yang
mendukung terwujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
11) Membangun kultur akhlak mulia membutuhkan waktu yang lama
dan harus dilakukan secara berkelanjutan.
12) Membangun kultur akhlak mulia perspektif Islam meliputi
dua dimensi hubungan, yakni hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama
manusia.
13) Membangun kultur akhlak mulia tidak hanya melalui mata
pelajaran tertentu, tetapi sebaiknya melibatkan semua mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah.
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan
secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan pada
siswa untuk memperteguh iman dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agam Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama
lain dalam hubungn kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk
mewujudkan persatuan nasional. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa
pendidikan Agama Katolik disekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan
siswa berinteraksi (berkomunikasi), memahami, menggumuli dan menghayati iman. Dengan kemampuan berinteraksi antara
pemahaman iman, pergumulan iman dan penghayatan iman itu diharapkan iman siswa
semakin diperteguh.2. Etika
menurut Agama Katolik serta Akhlak Beragama
Banyak
masalah yang sedang dihadapi bangsa ini terutama yang berkaitan dengan etika
dan moral. Masalah utama moral bangsa ini antara lain hilangnya kejujuran,
hilangnya rasa tanggung jawab, krisis kerjasama, hilangnya keadilan, rendahnya
disiplin, krisis kepedulian. Dalam kehidupan beragama orang diselamatkan bukan
oleh pengetahuan tentang imannya, tapi oleh kemampuannya menginterpretasi dan
menerapkan pengetahuan tentang imannya
dalam hidup nyata sehari-hari.
Pendidikan
Agama Katolik (PAK) pada dasarnya bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman
Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang
memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan
situasi dan peristiwa penyelamatan: situasi dan perjuangan untuk perdamaian dan
keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan,
kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap orang dari berbagai
agama dan kepercayaan.
Dalam
pendidikan Agama Katolik, Pendekatan Pembelajaran lebih ditekankan pada
pendekatan yang didalamnya terkandung 3 proses yaitu proses pemahaman,
pergumulan dan penghayatan iman dalam konteks hidup nyata sehari-hari. Proses
pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dimulai dari penggalian dan pendalaman
pengalaman hidup sehari-hari, diteguhkan dalam terang Kitab Suci / ajaran Gereja,
yang pada akhirnya diwujudnyatakan dalam tindakan konkrit sehari-hari.
3.
Hubungan Agama Katolik dengan Kesehatan
Agama adalah suatu ajaran dimana
setiap pemeluknya dianjurkan untuk selalu berbuat baik. Untuk itu semua
penganut agama yang mempercayai ajaran dan melaksanakan ajarannya mereka akan
senantiasa melaksanakan segala hal yang ada dalam ajaran tersebut. Manusia
tidak bisa dilepaskan dengan agama, ketika manusia jauh dari agama maka akan
ada kekosongan dalam jiwanya. Walaupun mungkin kebutuhan materialnya mereka
terpenuhi. Akan tetapi kebutuhan batin mereka tidak, sehingga mereka akan mudah
terkena penyakit hati.
Penyakit hati yang melanda manusia
yang tidak beragama akan senantiasa menghantui mereka sehingga mereka akan
mudah putus asa. Oleh karena itu orang yang tidak beragama ketika mendapatkan
persoalan hidup mereka akan mudah putus
asa dan akhirnya mereka akan melakukan penyimpangan atau tingkah laku yang
tidak sesuai dengan norma atau ajaran agama. Banyak
penyakit karena emosi-emosi buruk itu, yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh obat. Penyakit-penyakit
sejenis ini dinamakan penyakit psikosomatik. Krisis akhlak pun mempunyai
sebab-sebab dalam emosi tercela yang sedang merajalela. Karena emosi itu
merupakan kenyataan yang dapat disaksikan pada tubuh manusia dan dapat dibagi
dalam emosi yang negatif dan positif, sedangkan yang positif dapat melenyapkan
atau menetralkan yang negatif dan menjadi peserta dalam insting religius,
lantas akan menjadi bukti nyata bahwa religi itu anasir yang sangat penting
bagi kehidupan manusia. Jadi, religi bukan obat bius atau racun. Bahkan,
sebaliknya religi menjadi obat mujarab bagi penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh gangguan emosi negatif. Pintu gerbang
ke neraka ada tiga buah, yang merusak jiwa, yakni keinginan (syahwat), marah,
dan serakah. Dalam ilmu kedokteran baru yang dinamai psikosomatik, yang sedang
marak dipelajari di Eropa dan Amerika oleh Dr J.L.C. Wortman, dikatakan bahwa
ilmu psikosomatik, ilmu kedokteran, agama, dan filsafat berjabatan tangan. Hal
itu benar-benar akan menjadi pembuka jalan ke arah dunia baru, yang sejak lama
kita nanti-nantikan dan yang akan menjamin kehidupan bahagia bagi seluruh umat
manusia, lahir dan batin. Ilmu kedokteran psikosomatik -oleh
ilmuwan Belanda Prof V. Rijnberk- dinamai juga ilmu kedokteran kesusilaan.
Alasannya, bila seseorang sakit, seluruh jasmani dan rohaninya sakit. Bukan
sebagian atau hanya jasmaninya yang sakit. Pendapat baru ini mungkin dapat
digunakan sebagai pembuka jalan ke arah dunia kedokteran baru. Ilmu kedokteran
menjadi pembuka tabir rahasia seperti
yang terbukti dalam kehidupan manusia. Alexis Carel, Freud, Jung, dan Robert,
misalnya, adalah nama-nama ahli ilmu kedokteran yang memecahkan masalah-masalah
yang tidak mungkin dapat diperoleh oleh ahli-ahli di lapangan ilmu pengetahuan
lain. Dengan pendapat baru itu, ilmu kedokteranlah yang pertama mengerti bahwa
di antara ilmu kedokteran, filsafat, dan agama, ada tali hubungan. Dengan
tali-tali hubungan itu, kita dapat mengerti kesatuan berupa makhluk hidup yang dinamai
manusia sebagai keseluruhan, bukan sebagai reduksi.
Terutama agama, yang sejak masa kesombongan ilmu
pengetahuan, menjelma sebagai positivisme akibat diperolehnya hasil-hasil yang
menyilaukan, mula-mula diejek, kemudian diingkari, tapi sekarang diakui oleh
ilmu psikosomatik sebagai anasir yang sangat penting di dalam kehidupan
tiap-tiap orang yang ingin memperoleh kebahagiaan.Pada zaman dahulu penyakit yang
diderita oleh manusia sering dihubungkan dengan gejala-gejala spiritual. Ketika
ada salah seorang dari mereka ada yang sakit, maka dengan spontanitas mereka
akan mengkaitkan penyakit tersebut karena adanya gangguan dari makhluk halus.
Oleh karena itu pada zaman dahulu ketika ada orang yang menderita penyakit
selalu berkaitan dengan para dukun yang dipercaya mampu untuk berkomunikasi
dengan makhluk tersebut sehingga diharapkan sang dukun dapat mengobati
penyakitnya atau menahan gangguannya. Ketika pemikiran manusia mengalami perkembangan, maka hal
yang demikian tidak berlaku lagi di tengah-tengah
masyarakat kita yang sudah mengenal modernisasi. Segala macam bentuk penyakit
yang di derita oleh manusia akan selalu mereka hubungkan dengan keadaan sang
penderita dan untuk mengobati penyakit tersebut mereka akan selalu pergi kepada
seorang dokter yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kepercayaan ini
memang sebagian besar dapat dibuktikan oleh keberhasilan pengobatan dengan
menggunakan peralatan dan pengobatan hasil temuan di bidang kedokteran modern. Praktik Spiritual
yang Memengaruhi Asuhan Keperawatana. Kitab SuciSetiap agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang
menjadi pedoman keyakinan dan perilaku penganutnya. Selain itu, tulisan sakral
sering kali menyampaikan cerita instrutif mengenai para pemimpin agama,
raja-raja dan pahlawan. Pada sebagian besar agama, tulisan ini dianggap sebagai
ucapan Sang Khalik yang ditulis para Nabi atau Khalifah. Umat kristiani
memiliki kitab suci Injil,umat Yahudi memiliki kitab suci taurat dan tamud, dan
umat muslim memiliki kitab suci alquran, umat Hindu memiliki beberapa kitab
suci, atau weda dan umat Budda mengimani ajaran yang ada di Tripitaka. Naskah
tersebut secra umum menetapkan hukum-hukum keagamaan dalam bentuk peringatan
dan peraturan untuk hidup ( misal: 10 perintah Tuhan). Hukum keagamaan tersebut
dapat diinterpretasi dalam berbagai cara oleh sub kelompok penganut agama dan
dapat memengaruhi keinginan klien untuk menerima anjuran penanganan sebagai
contoh transfusi darah dilarang pada ajaran saksi Jahovah.Individu
sering kali mendapat kekuatan dan harapan setelah membaca buku-buku keagamaan/
kitab suci saat mereka sakit atau saat mengalami krisis. Contoh cerita
keagamaan yang dapat memberikan kenyamanan bagi klien adalah penderitaan Nabi,
baik pada Kitab Suci Yahudi maupun Kristiani, dan penyembuhan yang
dilakukan Yesus pada orang-orang yang mengalami penyakit fisik atau mental, dalam
perjanjian baru. b. Simbol sakral
Simbol sakral mencakup perhiasan, liontin, tasbih, lambang, patung, atau
ornamen tubuh (mis, tato) yang memiliki makna keagamaan atau spiritual. Simbol
tersebut digunakan untuk menunjukkan keyakinan seseorang, untuk mengingatkan
pemakainya akan keyakinannya, untuk memberikan perlindungan spiritual, atau
untuk menjadi sumber kenyamanan atau kekuatan, individu dapat menggunakan
liontin keagamaan sepanjang waktu, dan mereka mungkin berharap untuk
mengenakannyasaat menjalani studi diagnostik, penanganan medis, atau
pembedahan. Orang Katolik Roma dapat memakai Rosario untuk berdoa.c.
Doa dan MeditasiIndividu
dapat memakai lambang atau patung keagamaan di dalam rumah, di mobil, atau di
tempat kerja sebagai pengingat pribadi terhadap keyakinan mereka atau sebagai
bagian tempat personal untuk sembahyang dan meditasi. Klien yang dirawat inap
atau yang menjalani pengobatan di fasilitas perawtan jangka panjang mungkin
berharap untuk diperbolehkan membawa atau memajang simbol spiritual berupa (
Gill, 1987, hlm, 489). Beberapa orang meragukan definisi tersebut karena
menurut defenisi tersebut, doa mewajibkan orang yang berdoa memiliki keyakinan
pada Tuhan atau entitas spiritual, padahal tidak semua orang yang berdoa
memilikinya. Sementara itu, beberapa orang menganggap doa sebagai fenomena
universal yang tidak mewajibkan keyakinan tersebut.
Beberapa agama memiliki doa-doa resmi dicetak dalam buku doa, seperti Book
of Common Prayer di gereja Anglikan/ Episkopal dan Missal di
geraja katolik. Beberapa doa keagamaan dikaitkan dengan sumber keyakinan sebagai
contoh, Doa Bapak Kami untuk umat Kristiani disampaikan kepada Yesus. Beberapa
agama mewajibkan ibadah setiap hari atau menetapkan waktu spesifik untuk berdoa
dah beribadah saat lima waktu bagi umat muslim. Mereka mungkin membutuhkan
waktu tenang tanpa gangguan selama mereka membaca buku doa mereka, menggunakan
Rosario, tasbih, dan ambang keagamaan lain yang tersedia bagi mereka.
Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiran seseorang atau terlibat dalam
refleksi diri. Beberapa orang meyakini bahwa melalui meditasi yang mendalam,
seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol fungsi fisik dan psikologis serta
perjalanan penyakit.
No comments:
Post a Comment
Just Comment, make you happy!!!